Dec 8, 2010

Teori Organisasi

Posted by Gerry Liston Putra On Wednesday, December 08, 2010 No comments

1. Teori Hierarki Kebutuhan
Teori motivasi yang paling terkenal adalah Hierarki Kebutuhan yang diungkapkan oleh Abraham Maslow. Hipotesis nya mengatakan bahwa dalam diri semua manusia bersemayam 5 jenjang kebutuhan yaitu sebagai berikut :
a. Psikologis : antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lain.
b. Keamanan : antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
c. Sosial : mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, dan persahabatan.
d. Penghargaan : mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi, dan prestasi ; serta faktor penghormatan dari luar seperti : misalnya status, pengakuan dan perhatian.
e. Aktualisasi diri : dorongan untuk menjadi seseorang / sesuatu sesuai ambisinya ; yang mencakup pertumbuhan , pencapaian potensi dan pemenuhan kebutuhan diri.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 214)
2. Teori X dan Y
Douglas McGregor mengemukakan 2 pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang ditandai sebagai Teori X, dan yang lain positif, yang ditandai dengan teori Y. McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai kodrat manusia didasarkan pada kelompok asumsi tertentu, dan menurut asumsi-asumsi ini, manajer cenderung menularkan cara berprilakunya ke para bawahan.
Menurut Teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut :
a. Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan, akan mencoba menghindarinya.
b. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran.
c. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bila mungkin.
d. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah.
Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia ini, McGregor mencatat empat asumsi positif, yang disebutnya sebagai Teori Y :
a. Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain.
b. Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada sasaran.
c. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan, tanggung jawab.
d. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 216)
3. Teori Dua Faktor
Teori Dua faktor (kadang-kadang disebut juga teori motivasi hygiene) dikemukakan oleh psikolog Frederick Herzberg. Dalam keyakinannya bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja dapat sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu, Herzberg menelaah pertanyaan, “Apa yang diinginkan orang-orang dari pekerjaan mereka?”. Herzber menyimpulkan bahwa jawaban yang diberikan orang-orang ketika merasa senang mengenai pekerjaan mereka sangat berbeda dari jawaban yang diberikan ketika mereka merasa tidak senang. Faktor Intrinsik seperti kemajuan prestasi, pengakuan, dan tanggung jawab nampaknya terkait dengan kepuasan kerja. Sedangkan faktor-faktor ekstrinsik berhubungan dengan ketidakpuasan.
Menurut Herzberg, faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu, manajer yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang menciptakan ketidakpuasaan kerja dapat membawa ketentraman, tetapi belum tentu motivasi. Mereka akan menentramkan tenaga kerja bukannya memotivasi mereka akibatnya kondisi-kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kualitas, pengawasan gaji, kebijakan perusahaan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja fisik, dan keamanan kerja telah dicirikan oleh Herzberg sebagai faktor-faktor hygiene.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 218)
4. Teori ERG
Clayton Alderfer dari Universitas Yale telah mengerjakan ulang Teori Hierarki Kebutuhan Maslow untuk disandingkan secara lebih dekat dengan riset empiris. Hierarki Kebutuhan yang direvisinya itu disebut teori ERG. Alderfer berargumen bahwa ada tiga kelompok kebutuhan inti yaitu eksistensi (existence), keterhubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth), sehingga disebut teori ERG. Kelompok eksistensi memperhatikan tentang pemberian persyaratan keberadaan materiil dasar kita, mencakup butir-butir yang oleh Maslow dianggap sebagai kebutuhan Psikologis dan keamanan. Kelompok kebutuhan kedua adalah kelompok keterhubungan, hasrat yang kita miliki untuk memelihara hubungan antar pribadi yang penting. Ringkasnya, teori ERG berargumen, seperti Maslow, bahwa kebutuhan tingkat lebih rendah yang terpuaskan menghantar ke hasrat untuk memenuhi kebutuhan ganda dapat beroperasi sebagai motivator pada saat yang sama, dan frustasi ketika berusaha memuaskan kebutuhan tingkat lebih tinggi. Teori ERG lebih konsisten dengan pengetahuan kita mengenai perbedaan individual diantara manusia.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 221)
5. Teori Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan para koleganya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan : prestasi, kekuasaan, dan kelompok pertemanan. Kebutuhan ini didefenisikan sebagai berikut:
· Kebutuhan akan prestasi : Dorongan untuk unggul, untuk berprestasi berdasar seperangkat standar, untuk berusaha keras supaya sukses.
· Kebutuhan akan kekuasaan : Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.
· Kebutuhan akan kelompok pertemanan : Hasrat untuk hubungan antarpribadi yang ramah dan akrab.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 222)
6. Teori Evaluasi Kognitif
Pada akhir 1960-an seorang peneliti mengemukakan bahwa pengenalan imbalan ekstrinsik, seperti gaji, atas upaya kerja yang sebelumnya secara intrinsik telah dapat memberi keuntungan karena adanya kesenangan yang dikaitkan dengan isi kerja itu sendiri, yang akan cenderung mengurangi keseluruhan tingkat motivasi. Pendapat ini yang disebut Teori Evaluasi Kognitif, telah diteliti secara ekstensif, dan banyak studi mendukungnya. Secara historis, ahli motivasi umumnya mengasumsikan bahwa motivasi intrinsik seperti misalnya prestasi, tanggung jawab, dan kompetensi tidak bergantung pada motivator ekstrinsik seperti upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik, dan kondisi kerja yang menyenangkan. Artinya, rangsangan satu tidak akan mempengaruhi rangsangan lainnya. Tetapi teori evaluasi kognitif mengemukakan sebaliknya. Teori ini berargumen bahwa bila imbalan ekstrinsik digunakan oleh organisasi sebagai hadiah atas kinerja yang unggul, imbalan intrinsik, yang berasal dari individu-individu yang melakukan apa yang mereka sukai, akan berkurang. Dengan kata lain, bila imbalan ekstrinsik diberikan ke seseorang untuk menjalankan tugas yang menarik, imbalan itu menyebabkan minat intrinsic terhadap tugas itu sendiri merosot.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 225)
7. Teori Penetapan Sasaran
Gen Broadwater, pelatih tim lari lintas alam Sekolah Menengah Hamilton, memberikan kata-kata akhir kepada pasukannya sebelum mereka menghampiri garis untuk lomba kejuaraan liga: “Masing-masing dari kalian siap secara fisik. Oleh karena itu, keluar sana dan berusaha sebaik-baiknya. Tidak seseorang pun pernah dapat meminta kamu lebih daripada itu.
Pada akhir 1960-an Edwin Locke mengemukakan bahwa niat-niat untuk bekerja menuju sasaran merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, sasaran memberitahu karyawan apa yang perlu dikerjakan dan berapa banyak upaya akan harus dilakukan. Bukti sangat mendukung nilai dari sasaran. Lebih tepatnya, kita dapat mengatakan bahwa sasaran khusus meningkatkan kinerja : bahwa sasaran sulit, bila diterima baik, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada sasaran mudah; dan bahwa umpan balik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi ketimbang tidak ada umpan balik. Disamping umpan balik, tiga faktor lain telah ditemukan dapat mempengaruhi hubungan sasaran-kinerja, yaitu: komitmen sasaran, keefektifan diri yang memadai dan budaya nasional. Teori penentuan sasaran sebelumnya mengasumsikan bahwa individu berkomitmen terhadap sasaran artinya bertekad untuk tidak menurunkan atau meninggalkan sasaran. Teori ini mengasumsikan bahwa bawahan akan berdiri sendiri (skor pada jarak kekuasaan tidak terlalu tinggi), sehingga manajer dan bawahan akan mencari sasaran yang menantang (penghindaran ketidak pastiannya rendah), dan bahwa kinerja dianggap penting oleh keduanya (kuantitas hidup tinggi).
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 227)
8. Teori Penguatan
Lawan pendapat terhadap teori penentuan sasaran adalah Teori Penguatan. Yang pertama merupakan pendekatan kognitif, yang mengemukakan bahwa sasaran individu mengarah tindakannya. Dalam teori penguatan, kita mempunyai pendekatan perilaku (behavioristik), yang berargumen bahwa penguatanlah yang mengkondisikan perilaku. Para ahli teori penguatan memandang perilaku dibentuk oleh lingkungan. Teori penguatan mengabaikan keadaan internal dari individu dan memusatkan semata-mata hanya pada apa yang terjadi pada seseorang bila ia mengambil sesuatu tindakan. Karen teori ini tidak mempedulikan apa yang mengawali perilaku, maka jelas, teori ini bukanlah teori motivasi. Tetapi teori ini memang memberikan cara analisis yang ampuh terhadap apa yang mengendalikan perilaku. Dan untuk alasan inilah teori ini lazim dipertimbangkan dalam pembahasan motivasi.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 230)
9. Teori Hanyut dan Motivasi Intrinsik
Suatu unsur penting dari pengalaman flow adalah bahwa motivasinya itu tidak berkaitan dengan sasaran akhir. Kegiatan yang dilakukan manusia ketika mereka mencapai perasaan yang tidak dibatasi waktu itu berasal dari proses aktivitas itu sendiri dan bukannya upaya untuk mencapai sasaran. Dengan demikian ketika seseorang mengalami perasaan hanyut (flow), dia benar-benar termotivasi secara intrinsik.
Apakah ada kondisi yang mungkin menghasilkan flow ? Ya. Ketika orang menggambarkan pengalaman flow, mereka berbicara tentang karakteristik umum tugas-tugas yang mereka lakukan. Tugas-tugas itu menantang dan menuntut penggunaan tingkat keterampilan yang tinggi. Tugas-tugas itu diarahkan berdasarkan sasaran dan mempunyai umpan balik tentang bagaimana tugas-tugas itu dijalankan. Namun perlu diperhatikan lagi bahwa walaupun tugas-tugas itu diarahkan berdasarkan sasaran, namun bukanlah sasaran yang memberi motivasi, melainkan tugas itu sendiri.
Salah satu dari temuan-temuan riset paling mengejutkan yang terkait dengan flow adalah bahwa flow itu tidak diasosiasikan dengan relaksasi. Memang, pengalaman flow jarang dilaporkan orang ketika mereka melakukan kegiatan relaksasi seperti menonton televise atau bersantai. Kejutan lain adalah bahwa pengalaman itu lebih mungkin dialami pada saat kerja daripada di rumah.
Pemahaman yang lebih jelas tentang flow sudah ditawarkan dalam modal motivasi intrinsik Ken Thomas. Perluasan konsep flow ini mengidentifikasi unsur pokok yang menciptakan motivasi intrinsik. Thomas menggambarkan karyawan sebagai orang termotivasi secara intrinsik bila dia benar-benar peduli dengan pekerjaannya, mencari cara yang lebih baik untuk melakukannya, dan mendapat kekuatan dan kepuasan dalam melakukannya dengan baik. Seperti pada flow, imbalan yang didapatkan dari motivasi intrinsik datang dari kerja itu sendiri dan bukannya dari faktor-faktor eksternal seperti kenaikan gaji atau pujian dari atasan.
Model Thomas itu mengemukakan bahwa motivasi intrinsic dicapai ketika orang mengalami perasaan-perasaan adanya pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan. Dia menetapkan komponen-komponen ini sebagai berikut:
· Pilihan adalah peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan tugas yang masuk akal bagi anda dan melaksanakannya dengan cara yang memadai.
· Kompetensi pancapaian yang anda rasakan saat melakukan kegiatan pilhan anda dengan cara yang amat terampil.
· Penuh arti adalah peluang untuk mengejar sasaran tugas bernilai; sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar.
· Kemajuan adalah perasaan bahwa anda membuat langkah maju yang berarti dalam mencapai sasaran tugas anda.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 231)
10. Teori Kesetaraan
Teori kesetaraan menerangkan bahwa individu membandingkan masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan masukan/keluaran orang lain dan kemudian berespons untuk menghapuskan setiap ketidakstaraan. Ketika kita kurang memperoleh penghargaan, maka tensi itu menciptakan kemarahan. Jika terlalu banyak menerima penghargaan, tensi itu akan menciptakan rasa bersalah. J Stacy Adam telah mengemukakan bahwa kondisi tegangan negatif ini memberikan motivasi untuk mengoreksinya.
Acuan yang dipilih oleh karyawan menambah kompleksitas teori kesetaraan. Bukti menunjukkan bahwa acuan yang dipilih merupakan variable yang penting dalam teori kesetaraan. Ada empat pembandingan acuan yang dapat digunakan oleh karyawan :
a. Di dalam diri sendiri : Pengalaman karyawan dalam posisi yang berbeda dalam organisasinya yang sekarang ini.
b. Di luar diri sendiri : Pengalaman karyawan dalam situasi atau posisi di luar organisasinya sekarang ini.
c. Di dalam diri orang lain : Individu atau kelompok individu lain di dalam organisasi karyawan itu.
d. Di luar diri orang lain : Individu atau kelompok individu di luar organisasi karyawan itu.
Berdasarkan teori kesetaraan, bila karyawan mempersepsikan ketidaksetaraan, dapat diprediksikan bahwa mereka dapat mengambil salah satu dari enam pilihan berikut:
a. Mengubah masukan (input) mereka (misalnya, tidak mengeluarkan banyak upaya).
b. Mengubah keluaran (output) mereka (misalnya, individu yang dibayar atas dasar banyaknya output dapat menaikkan upah mereka dengan menghasilkan kuantitas yang lebih tinggi dari unit yang kualitasnya lebih rendah).
c. Mendistorsikan persepsi mengenai diri (misalnya, “saya biasa berpikir saya bekerja dengan kecepatan sedang, tetapi sekarang saya menyadari bahwa saya bekerja terlalu keras daripada orang lain”).
d. Mendistorsi persepsi mengenai orang lain (misalnya, “ Pekerjaan Mike tidaklah begitu diinginkan seperti saya kira sebelumnya.”)
e. Memilih acuan yang berlainan (misalnya,”Mungkin gaji saya tidak sebanyak gaji ipar saya, tetapi saya melakukan jauh lebih baik daripada Ayah ketika ia seusia saya”).
f. Meninggalkan medan (misalnya, berhenti dari pekerjaan)
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 234)
11. Teori Pengharapan
Dewasa ini, salah satu dari penjelasan yang paling diterima secara luas mengenai motivasi adalah teori pengharapan dari Victor Vroom. Meskipun ada yang mengkritiknya, kebanyakan bukti riset mendukung teori itu.
Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu bergantung pada kekuatan pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh output tertentu bergantung pada daya tarik output itu bagi individu tersebut. Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan mengatakan, karyawan dimotivasi untuk melakukan upaya lebih keras bila ia menyakini upaya itu akan menghasilkan penilaian kinerja yang baik. Penilaian yang baik akan mendorong imbalan organisasi seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi. Dan imbalan itu akan memenuhi sasaran pribadi karyawan itu. Oleh karena itu, teori tersebut berfokus pada tiga hubungan. Yaitu :
a. Hubungan upaya dan kinerja. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.
b. Hubungan kinerja dan imbalan. Sampai sejauh mana individu itu meyakini bahwa berkinerja pada tingkat tertentu akan mendorong tercapainya output yang diinginkan.
c. Hubungan imbalan, sasaran dan pribadi. Sampai sejauh mana imbalan-imbalan organisasi memenuhi sasaran atau kebutuhan pribadi individu serta potensi daya tarik imbalan tersebut bagi individu tersebut.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 238)
12. Teori Disonansi Kognitif
Leon Festinger, pada akhir dasawarsa 1950-an, mengemukakan teori disonansi kognitif. Teori ini berusaha menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku. Disonansi berarti inkonsistensi (ketidakkonsistenan). Disonansi kognitif mengacu pada setiap ketidaksesuaian yang mungkin ditemukan oleh seorang individu antara dua atau lebih sikapnya, atau antara perilaku dan sikapnya. Festinger berpendapat bahwa setiap bentuk inkonsistensi tidak menyenangkan dan bahwa individu-individu akan berupaya mengurangi disonansi itu dan dari situ mengurangi ketidaknyamanan. Oleh karena itu, individu akan memperjuangkan keadaan mantap, yang didalamnya terdapat disonansi minimum.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 96)
13. Teori Kepemimpinan Situasional
Paul Hersey dan Ken Blanchard telah mengembangkan model kepemimpinan yang memperoleh pengikut kuat di kalangan spesialis pengembangan manajemen. Model ini yang disebut teori kepemimpinan situasional yang telah digunakan sebagai perangkat utama pelatihan di lebih dari 400 perusahaan Fortune 500; dan lebih dari satu juta manajer setahun dari berbagai organisasi diajari unsur-unsur dasarnya.
Kepemimpinan situasional merupakan teori kontijensi yang memusatkan perhatian pada para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 445)
14. Teori Atribut Tugas Wajib
Turner dan Lawrence mengembangkan telaah riset untuk menilai pengaruh dari jenis-jenis pekerjaan yang berbeda berdasarkan kepuasaan dan kemangkiran karyawan. Mereka meramalkan karyawan akan lebih menyukai pekerjaan yang rumit dan menantang; artinya pekerjaan semacam itu akan meningkatkan kepuasan kerja dan tingkat kemangkiran yang lebih rendah. Mereka menetapkan kompleksitas pekerjaan ke dalam enam karakteristik tugas yaitu keragaman, otonomi, tanggung jawab, pengetahuan dan keterampilan, interkasi social yang diperlukan dan interaksi social pilihan. Semakin tinggi nilai pekerjaan berdasarkan karakteristik- karakteristik ini, menurut Turner dan Lawrence semakin rumit.
Teori atribut tugas wajib dari Turner dan Lawrence penting sekurang-kurangnya karena tiga alasan. Pertama, teori itu memperlihatkan bahwa karyawan memang menanggapi secara berbeda tipe-tipe pekerjaan yang berlainan. Kedua, teori itu memberikan seperangkat pendahuluan atas atribut tugas yang dengannya pekerjaan-pekerjaan itu dapat dinilai. Dan ketiga, teori itu memfokuskan perhatian pada perlunya mempertimbangkan pengaruh perbedaan individu pada reaksi karyawan terhadap pekerjaan.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 638)
15. Teori Administrasi
Teori Administrasi menguraikan upaya-upaya untuk mendefenisikan fungsi-fungsi universal yang dilakukan para manajer dan asas-asas yang menyusun praktik manajemen yang baik. Penyumbang utama teori administrasi adalah seorang industrialis Prancis bernama Henri Fayol.
Fayol mengusulkan bahwa semua manajer melakukan kelima fungsi manajemen: perencanaan, pengorganisasian, pengkomandoan, pengkoordinasian dan pengendalian. Disamping itu ia menggambarkan praktik manajemen sebagai sesuatu yang jelas berbeda dari akuntansi, keuangan, produksi, distribusi, dan fungsi lain bisnis yang lazim.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 820)
16. Teori Struktural
Sosiolog Jerman Max Weber mengembangkan suatu teori struktur otoritas dan mendeskripsikan kegiatan organisasional sebagai didasarkan pada hubungan otoritas. Ia adalah salah satu orang pertama yang memandang manajemen dan perilaku organisasi dari perspektif structural.
Weber menggambarkan suatu tipe ideal dari organisasi yang disebutnya sebagai suatu birokrasi. Birokrasi adalah suatu system yang dicirikan oleh pembagian kerja dengan hierarki yang terdefenisi dengan jelas, hokum dan peraturan yang rinci , serta hubungan antar-pribadi. Weber menyadari bahwa “birokrasi ideal” ini tidak ada dalam kenyataan, tetapi lebih mencerminkan suatu rekonstruksi selektif dari dunia nyata.
(Stephen P. Robbins, “Perilaku Organisasi” , Indeks Kelompok Gramedia 2006, Halaman 821)
17. Teori Kontinum
Teori yang dipelopori oleh Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt ini berasumsi bahwa pemimpin yang paling efektif adalah mereka yang mempunyai gaya dan konsisten, sesuai dengan tuntutan situasi. Dalam kaitannya dengan ini mereka mengemukakan 7 butir perilaku kepemimpinan pada suatu kintinum, dari kepemimpinan terpusat pada atasan, kepada kepemimpinan yang terpusat pada bawahan.
· Pemimpin atau manajer membuat keputusan dan mengumumkan kepada bawahannya.
· Pemimpin atau manajer membuat keputusan dan menawarkannya.
· Pemimpin atau manajer mengemukakan atau memberikan pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan memberi kesempatan untuk mempertanyakannya.
· Pemimpin atau manajer mengemukakan keputusan sementara yang masih dapat diubah.
· Pemimpin atau manajer memberikan persoalan, meminta saran-saran dan membuat keputusan.
· Pemimpin atau manajer menentukan beberapa batasan dan meminta bawahan untuk membuat keputusan.
· Manajer mengijinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin.
(Drs.Abdullah Masmuh, M.Si, “Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Prakter”, UMM press 2008, Halaman 276)
18. Teori Kebergantungan
Teori yang dipelopori oleh Fiedler ini berasumsi bahwa keefektifan pemimpin bergantung pada hubungan-hubungan dalam gaya kepemimpinannya juga situasi tertentu yang dihadapinya. Ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam situasi kepemimpinan yang bias mendukung keberhasilan dan keefektifannya yaitu : relasi antara pemimpin dengan anggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan pemimpin. Relasi antara pemimpin dengan anggota ini menyangkut bagaimana seorang pemimpin membangun human relations secara baik. Jika hubungan antara pemimpin dengan anggota berjalan secara harmonis, maka akan terbangun rasa senang atau menyukai, mempercayai, dan menghargai pemimpin. Hal inilah yang dianggap sebagai satu-satunya kondisi terpenting bagi kepemimpinan yang efektif.
(Drs.Abdullah Masmuh, M.Si, “Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Prakter”, UMM press 2008, Halaman 278)
19. Teori Kisi Kepemimpinan
Teori ini dikemukakan oleh Robert R. Blake dan Jane S. Mouton ini awalnya dinamai kisi manajerial tapi kini disebut kisi kepemimpinan. Kisi ini menggambarkan bagaimana perhatian pemimpinan pada tugas dan pada manusia berkelindan (yang telah melakukan upaya) sehingga menciptakan gaya pengelolaan dan kepemimpinan. Ada 5 jenis gaya ekstrim yang dikemukakan teori kisi ini, diantaranya :
· Gaya pemimpin pengalah (impoverished leader style) gaya ini ditandai oleh kurangnya perhatian terhadap produksi.
· Gaya pemimpin pertengahan (middle of the road leader style) gaya ini ditandai yang seimbang terhadap produksi dan manusia. Pemimpin jenis ini mencari cara-cara yang dapat berguna, meskipun mungkin tidak sempurna untuk memecahkan masalah.
· Gaya pemimpin Tim ( team leader style) gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap tugas dan manusia. Pemimpin tim amat menghargai keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil dari pengertian dan kesepakatan anggota organisasi.
· Gaya pemimpin santal (country club leader style) gaya ini ditandai oleh rendahnya perhatian terhadap tugas dan perhatian yang tinggi terhadap manusia. Gaya ini amat menghargai hubungan baik antara sesame orang.
· Gaya pemimpin kerja (task leader style) gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan kerja tetapi amat kurang memperhatikan manusianya. Pemimpin gaya ini amat menghargai keputusan yang telah dibuat.
(Drs.Abdullah Masmuh, M.Si, “Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Prakter”, UMM press 2008, Halaman 268)
20. Teori Dewasa dan Tidak Dewasa
Menurut Chris Argyris ada tujuh perubahan yang terjadi didalam kepribadian seseorang jika ia berkembang dewasa pada sepanjang tahunnya:
· Pertama, seseorang itu akan bergerak dari suatu keadaan pasif sebagai kanak-kanak ke suatu keadaan yang bertambah aktivitasnya sebagai orang dewasa.
· Kedua, seseorang akan berkembang dari suatu keadaan yang tergantung kepada orang lain ke suatu keadaan yang relatif merdeka sebagai orang dewasa.
· Ketiga, seseorang bertindak hanya dalam cara yang sedikit sebagai kanak-kanak tetapi sebagai orang dewasa ia akan mampu bertindak dalam berbagai cara.
· Keempat, seseorang itu mempunyai minat yang tidak menentu, kebetulan, dan tidak begitu mendalam dan kuat minatnya sebagai orang dewasa.
· Kelima, perspektif waktu bagi anak-anak adalah singkat hanya melibatkan waktu kini, tetapi sebagai seseorang yang sudah matang.
· Keenam, seseorang sebagai kanak-kanak ia berada dibawah pengendalian setiap orang tapi ia akan menunjukkan kedudukan yang sama atau diatas orang lain.
· Ketujuh, sebagai anak-anak seseorang kurang kesadarannya akan dirinya tapi sebagai seorang yang sudah matang ia tidak hanya sadar akan tetapi mampu untuk mengendalikan dirinya.
(Miftah Toha, “Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya”, Grafindo, Halaman 247)

0 komentar:

Post a Comment